KKI Warsi dan IPB melakukan penelitian dampak karhutla di lahan gambut di Jambi. Foto : KKI Warsi |
Jambipos Online-Selama tahun 2014, kebakaran hutan masih saja terjadi. Meski pada akhir
masa pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan
berbagai langkah dan Presiden Joko Widodo juga telah blusukan di provinsi Kepulauan Riau, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih terjadi.
Kebakaran hutan lebih banyak disebabkan dari kegiatan manusia daripada
faktor alam. Bahkan Saharjo (1999), mengatakan 99,9 persen kebakaran
hutan/lahan oleh manusia, baik disengaja maupun akibat kelalaiannya.
Sumatera menjadi daerah yang paling banyak terjadi karhutla, terutama di
Riau. Sedangkan di Jambi, Direktur Eksekutif Walhi Jambi Musri Nauli,
terjadi tren peningkatan karhutla berdasarkan analisa data satelit.
Jumlah Hotspot di Provinsi Jambi lima tahun terakhir
Tahun | Hotspot* |
2010 | 82 |
2011 | 641 |
2012 | 962 |
2013 | 376 |
2014 | 485 |
*Data hasil analisa LAPAN |
Dampak karhutla seperti asap, sangat merugikan masyarakat, baik dari
kesehatan, gangguan aktivitas, perekonomian serta ekologis. Meski telah
ada berbagai peraturan, pemerintah terlihat lambat dan kurang responsif
menghadapi dan mengantisipasi karhutla.
“Kabut asap ini terus terjadi setiap tahunnya. Pemerintah hanya
melakukan tindakan-tindakan reaktif seperti pemadaman, pemberian masker,
meliburkan sekolah. Itu yang selalu dilakukan. Tanpa melihat bagaimana
asap ini disebabkan ulah manusia yang tidak bertanggungjawab. Dan 80
persen penyebab kabut asap ini adalah perusahaan yang ada di Provinsi
Jambi,” kata Musri.
Walhi sendiri sudah mengantongi tujuh perusahan perkebunan dan HTI di
Jambi yang diduga kuat melakukan pembakaran dan pembiaran terhadap
kebakaran yang terjadi di areal mereka. ”Kita sudah mengantongi tujuh
perusahaan perkebunan dan HTI yang menyebabkan kabut asap di Jambi
setiap tahunnya. Ini masih dalam proses pengolahan data,” sebut Musri.
Senada dengan itu, Manager Komunikasi Kelompok Konservasi Indonesia
(KKI) WARSI Rudi Syaf menjelaskan penyebab karhutla di Jambi berasal
dari aktivitas manusia, baik kesengajaan maupun kelalaian. Dari data
titik api analisa satelit dari LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional), sebaran titik api dalam 5 tahun terakhir di Jambi disebabkan
aktivitas perusahaan HTI dan perkebunan.
“Dari data titik api tahun ke tahun, jika ditelusuri penyebabnya
kebakaran ini disebabkan oleh pembukaan lahan baru untuk HTI dan
perkebunan, kanalisasi kawasan gambut serta pembukaan areal perladangan
oleh banyak kelompok masyarakat,”sebut Rudi.
Dia mencontohkan, kawasan selatan Bukit Tigapuluh yang kini dikelola
oleh perusahaan HTI PT Lestari Asri Jaya (LAJ) sejak di berikan izin
pada 2010 silam, setiap tahun terindikasi memiliki titik api. “Di
kawasan ini beberapa tahun ini memang berlangsung adanya land clearing di
blok konsesi LAJ. Selain itu juga pembakaran lahan di selatan Bukit
Tigapuluh ditengarai dilakukan oleh kelompok masyarakat yang banyak
membuka kawasan hutan di sekitar jalan koridor yang menghubungkan
konsesi Sinar Mas di Tebo dengan perusahaan pulp di Tanjug Jabung
Barat,”sebut Rudi.
Dia menjelaskan meski ada kebiasaan masyarakat Jambi membakar hutan
untuk membuka lahan, tetapi dengan metode yang berbeda, yaitu dengan
metode slash and burn,
menebang pohon kecil dan besar, dengan menumpuknya ditengah lahan yang
dibuka, sehingga ketika dibakar terkonsentrasi di tengah. Berbeda dengan
metode pembukaan lahan saat ini dengan menggunakan alat berat dan luas
puluhan hektar, dan kebakarannya merembet ke kawasan lain.
Membakar lahan merupakan cara paling mudah dan murah bagi perusahaan
untuk membuka dan membersihkan lahan baru. Padahal ada berbagai
peraturan yang melarang cara tersebut, seperti UU No.41/1999 tentang
Kehutanan, UU No.18/ 2004 tentang Perkebunan, Inpres No.16/ 2001 tentang
Peningkatan Pengendalian Kebakaran hutan dan lahan, dan UU No.32 /2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ancaman hukuman
pembakar hutan lahan minimal tiga tahun penjara, maksimal 10 tahun
penjara dan denda minimal Rp3 miliar maksimal Rp10 miliar
Rudi mengatakan peraturan itu sudah cukup untuk penegakan hukum.
Sayangnya pelaku pembakaran belum tersentuh hukum. “Kalaupun ada yang di
tahan hanya operator lapangan, sedangkan pemilik modal sama sekali
tidak tersentuh sehingga tidak ada efek jera apa sekali,” katanya.
Musri menambahkan minimnya pemahamam persoalan lingkungan oleh aparat juga mempengaruhi penegakan hukum karhutla.
Bernapas di dalam Asap demi Keuntungan Sesaat
Untuk mengetahui dampak karhutla, khususnya di lahan gambut, KKI WARSI
bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB)
melakukan studi valuasi ekonomi dampak kebakaran hutan di areal gambut
di 3 Kabupaten di Provinsi Jambi yaitu Kabupaten Muaro Jambi, Tanjung
Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur. Kegiatan yang dilakukan selama
sembilan hari ini fokus pada areal yang akan dijadikan titik sampel
untuk kebakaran di areal gambut yang meliputi wilayah kerja perusahaan
baik HTI maupun perkebunan masyarakat, kawasan lindung dan perkebunan
masyarakat.
Dari hasil penelitian yang menggunakan metode stratified random sampling, khususnya di Kabupaten Muaro Jambi, diduga karhutla sengaja dilakukan pihak perusahaan. Karhutla terjadi bertepatan dengan land clearing di lahan perusahaan, sesuai dengan hasil analisa citra, dimana titik api berpindah setiap tiga tahun sekali.
Membakar untuk membuka lahan menjadi cara mudah dan murah bagi
perusahaan, selain untuk mengurangai keasaman lahan gambut. Butuh 8
bulan untuk membuka lahan secara manual sesuai Rencana Kerja Tahunan
(RKT), tetapi hanya satu bulan bila lahan dibakar. Dari situ, bisa
dibayangkan biaya yang bisa dihemat dari pembukaan lahan untuk sewa alat
berat dan Hari Kerja Orang (HOK).
Dengan membakar lahan, maka hasilnya akan tersedia unsur fosfor untuk
pupuk bagi lahan gambut, sehingga akan menghemat biaya pupuk fosfor bagi
perusahaan, yaitu Rp 500 – 600/ batang dan dikali dengan jumlah luasan
ijin lokasi.
Hasil penelitian juga menunjukkan, kawasan tersebut mempunyai kedalaman
gambut mencapai lebih dari 6 meter. Padahal sesuai Keppres No. 32 tahun
1990 tentang kawasan lindung, kawasan gambut dengan kedalaman 3 meter,
sudah masuk status dilindungi sebagai kawasan konservasi yang berfungsi
hidrologi menyimpan air, mencegah banjir, dan melindungi ekosistem
gambut yang khas, yaitu mencegah emisi karbon yang jumlahnya beberapa
kali lipat lebih tinggi dibanding kawasan non gambut.
Kebakaran juga menyebabkan penurunan muka tanah dan volume gambut, yang
akan menurunkan kemampuan gambut menahan air. Apabila kubah gambut
mengalami penciutan setebal satu meter saja, maka lahan gambut akan
kehilangan kemampuannya dalam menyangga air sampai 90 cm atau ekivalen
dengan 9.000 meter kubik.
Selain dampak ekologis, Indra, Dosen IPB menyebutkan banyak dampak dari
karhutla. “Tidak hanya ISPA, munculnya berbagai jenis hama baru, ini di
dampak sosial, budaya dan ekonominya. Sementara hilangnya sejumlah flora
dan fauna, dan ancaman subsidence gambut, hingga terganggunya siklus
hidrologi ini kalau dikaji dari segi lingkungan,” sebutnya
Ada beberapa rekomendasi kepada pemerintah dari penelitian untuk
meminimalkan karhutla di lahan gambut, misalnya pembuatan perda larangan
pembukaan lahan dengan membakar Lahan, moratorium pemberian izin baru
untuk pemanfaatan lahan gambut sebagai perkebunan kelapa sawit dan HTI,
mendorong partisipasi masyarakat dalam menjaga dan memadamkan kebakaran.
Bisa saja ada insentif baik perusahaan maupun masyarakat yang mampu
menjaga kebakaran di lahan gambut. (Musri Nauli-Direktur Walhi Jambi)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE