SAHALA TUA SARAGIH dan Keluarga.IST FB |
Oleh: SAHALA TUA SARAGIH
DALAM rangka memperingati Hari Pers Nasional, saya teringat sebuah judul; ”Koran Membunuh Koran”. Judul tajuk KORAN SINDO edisi Rabu, 16/12/2015 ini sangat provokatif. Rupanya editorial tersebut merupakan ulasan terhadap berita halaman muka KORAN SINDO sehari sebelumnya yang berjudul, ”Alibaba Akuisisi Media Hong Kong”. Berita tersebut sungguh mengejutkan dan mengherankan, tetapi sekaligus menggembirakan kita di Indonesia.
DALAM rangka memperingati Hari Pers Nasional, saya teringat sebuah judul; ”Koran Membunuh Koran”. Judul tajuk KORAN SINDO edisi Rabu, 16/12/2015 ini sangat provokatif. Rupanya editorial tersebut merupakan ulasan terhadap berita halaman muka KORAN SINDO sehari sebelumnya yang berjudul, ”Alibaba Akuisisi Media Hong Kong”. Berita tersebut sungguh mengejutkan dan mengherankan, tetapi sekaligus menggembirakan kita di Indonesia.
Mengejutkan dan mengherankan, bahkan
terkesan kontradiktif, mungkin ada pula yang menyebutnya kebodohan
karena pada saat banyak media massa cetak kelas raksasa yang telah
berusia lebih dari 100 tahun di Amerika Serikat dan Eropa Barat mati
satu demi satu, ada pengusaha Tiongkok yang membeli sebuah koran harian
dengan harga yang sangat fantastis.
Seperti kerap diberitakan, sudah cukup banyak media massa cetak besar, berkelas internasional, dan berusia sangat tua di negara-negara industri maju (bukan di Asia) bangkrut total gara-gara kehadiran teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang sangat canggih. Sebagian media massa tersohor itu bermetamorfosis menjadi media digital atau dalam jaringan (daring).
Dalam berita langsung KORAN SINDO itu diungkapkan, Jack Ma, pendiri dan Direktur Utama Alibaba, mengakuisisi (membeli) kontan koran ternama berbahasa Inggris yang berpangkalan di Hong Kong, South China Morning Post (SCMP), seharga 2.060.600.000 dolar Hong Kong. Ini setara dengan 266 juta dolar AS atau kurang lebih Rp3,75 triliun. Bayangkan! Koran internasional yang terbit sejak tahun 1903 itu satu induk perusahaan (holding company) dengan majalah-majalah internasional tersohor, Esquire, Elle, Cosmopolitan, dan Harpers Bazaar.
Seperti kerap diberitakan, sudah cukup banyak media massa cetak besar, berkelas internasional, dan berusia sangat tua di negara-negara industri maju (bukan di Asia) bangkrut total gara-gara kehadiran teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang sangat canggih. Sebagian media massa tersohor itu bermetamorfosis menjadi media digital atau dalam jaringan (daring).
Dalam berita langsung KORAN SINDO itu diungkapkan, Jack Ma, pendiri dan Direktur Utama Alibaba, mengakuisisi (membeli) kontan koran ternama berbahasa Inggris yang berpangkalan di Hong Kong, South China Morning Post (SCMP), seharga 2.060.600.000 dolar Hong Kong. Ini setara dengan 266 juta dolar AS atau kurang lebih Rp3,75 triliun. Bayangkan! Koran internasional yang terbit sejak tahun 1903 itu satu induk perusahaan (holding company) dengan majalah-majalah internasional tersohor, Esquire, Elle, Cosmopolitan, dan Harpers Bazaar.
Sayang, dalam berita bagus itu tak ada
kutipan ucapan Jack Ma sehingga kita tak mengetahui ada apa di balik
kenekatannya tersebut. Sebagai pengusaha senior kaliber internasional
pastilah ia melakukan hal itu dengan penuh perhitungan bisnis.
Berita itu membesarkan hati kita karena peristiwa yang terkesan sensasional itu dapat meyakinkan para pengusaha media massa cetak di tanah air, rupanya bisnis media konvensional ini masih prospektif.
Berita itu membesarkan hati kita karena peristiwa yang terkesan sensasional itu dapat meyakinkan para pengusaha media massa cetak di tanah air, rupanya bisnis media konvensional ini masih prospektif.
Memang dalam
pertemuan tahunan para pengusaha media massa cetak Asia selama ini juga
selalu terungkap, tiras media cetak di berbagai negara industri maju,
terutama Jepang dan Korea Selatan justru meningkat. Rupanya serbuan TIK
canggih tak mematikan minat warga masyarakat negaranegara maju di Asia
untuk membaca media massa cetak.
Di Indonesia beberapa media massa cetak yang sudah tua bangkrut total. Contohnya koran harian sore yang dahulu sangat terkenal, Sinar Harapan Jakarta, yang berhenti terbit sejak 1 Januari lalu. Ada pula sebagian media cetak konvensional beralih ke media daring. Sebagian media massa cetak besar mengalami penurunan tiras yang sangat berarti.
Di Indonesia beberapa media massa cetak yang sudah tua bangkrut total. Contohnya koran harian sore yang dahulu sangat terkenal, Sinar Harapan Jakarta, yang berhenti terbit sejak 1 Januari lalu. Ada pula sebagian media cetak konvensional beralih ke media daring. Sebagian media massa cetak besar mengalami penurunan tiras yang sangat berarti.
Akan tetapi terjadi pula
sebaliknya, beberapa koran harian yang berusia relatif muda (yang
tergabung dalam kelompok perusahaan media ternama) justru tirasnya naik.
Mungkin karena harga korannya sangat murah (hanya
Rp2.000Rp3.000/eksemplar).
Koran-koran murah namun berkualitas bagus
itu ternyata menggeser (merebut) pasar korankoran besar yang sudah tua,
terutama di pasar eceran. Pengamatan kita sehari-hari ini membantah
anggapan banyak orang selama ini bahwa media daring, koran, tabloid, dan
majalah elektronik telah membunuh media massa cetak konvensional.
Ada pula satu fakta menarik. Ini aneh namun nyata. Majalah berita mingguan daring Detik Jakarta ternyata beberapa waktu lalu mati juga. Entah mengapa. Ini membuktikan, media (majalah) daring ternyata bisa mati pula.
Ada pula satu fakta menarik. Ini aneh namun nyata. Majalah berita mingguan daring Detik Jakarta ternyata beberapa waktu lalu mati juga. Entah mengapa. Ini membuktikan, media (majalah) daring ternyata bisa mati pula.
Padahal ia bernaung di bawah kelompok perusahaan Trans milik
Chairul Tanjung (pengusaha kayaraya, masuk 10 besar terkaya di
Indonesia). Terbukti majalah daring Detik tak mampu menggeser, apalagi
membunuh majalah berita mingguan cetak konvensional, yakni Tempo, Gatra,
dan beberapa majalah berita lainnya.
Di bagian akhir ulasannya, penulis tajuk koran ini menulis begini, ”Lalu, apakah benar-benar media digital membunuh koran di Indonesia? Tidak. Yang membunuh koran adalah koran itu sendiri. Tentu koran harus belajar pada peristiwa 1900 dan 1940 ketika diserang radio dan televisi.
Di bagian akhir ulasannya, penulis tajuk koran ini menulis begini, ”Lalu, apakah benar-benar media digital membunuh koran di Indonesia? Tidak. Yang membunuh koran adalah koran itu sendiri. Tentu koran harus belajar pada peristiwa 1900 dan 1940 ketika diserang radio dan televisi.
Apa yang membuat koran tetap
eksis saat itu harus dicontoh oleh koran saat ini. Salah satunya adalah
bagaimana melakukan perubahan gaya pemberitaan dan tampilan. Jika memang
eranya digital, tentu artikel dan tampilan juga harus menyelaraskan
dengan ciri media digital.
Sudah banyak media cetak yang mengubah
tampilan dari print ke digital. Namun apakah sekadar itu, lalu
koran akan tetap eksis di era digital? Tentu tidak. Pola pikir para
pekerja media konvensional juga harus digital pula. Jadi, bukan media
digital yang membunuh koran, namun koran itu sendiri, karena tidak mau
menyesuaikan dengan kelebihan digital.”
Jurnalisme Mutilasi
Jurnalisme Mutilasi
Media daring terkenal dengan kecepatannya, hampir sama cepatnya dengan radio dan televisi siaran yang bersiaran langsung. Aktualitas menjadi nilai berita terpenting dalam media daring. Oleh karenanya, berita-beritanya sering sekali jauh dari lengkap dan utuh. Atas nama kecepatan (aktualitas) wartawan media daring sering sekali tidak memverifikasi atau mengecek kebenaran suatu fakta yang diterima atau diinderanya.
Fakta sebuah peristiwa mereka beritakan sepotongsepotong. Bahkan hasil
sebuah wawancara dengan seorang narasumber (ahli, misalnya) pun sengaja
dibuat lima berita yang disiarkan dalam waktu yang berbeda-beda.
Ibarat berita pembunuhan sadistis seseorang, misalnya dimutilasi, yang pertama diberitakan hanya kepalanya. Beberapa waktu kemudian diberitakan tangannya. Berita kemudian tentang bagian dada dan perutnya.
Ibarat berita pembunuhan sadistis seseorang, misalnya dimutilasi, yang pertama diberitakan hanya kepalanya. Beberapa waktu kemudian diberitakan tangannya. Berita kemudian tentang bagian dada dan perutnya.
Berikutnya
berita tentang kaki kirinya. Terakhir berita tentang kaki kanannya. Ini
namanya jurnalisme mutilasi. Media daring tak mengenal periodisitas,
juga tak punya tenggat waktu. Kalaupun ada, setiap waktu adalah tenggat
waktu. Inilah kekuatan dan sekaligus kelemahan jurnalisme yang dianut
media daring.
Kita yakin tak semua pengakses media daring membaca semua berita bersambung tersebut. Akibatnya, pembaca menyimpulkan sebuah peristiwa berdasarkan sepotong atau dua potong berita yang baru dibacanya di media daring.
Kita yakin tak semua pengakses media daring membaca semua berita bersambung tersebut. Akibatnya, pembaca menyimpulkan sebuah peristiwa berdasarkan sepotong atau dua potong berita yang baru dibacanya di media daring.
Berita yang tak lengkap dan utuh menjadi
modal mereka dalam waktu singkat menentukan pendapat, sikap, bahkan
keputusan (tindakan). Akibatnya, mereka bisa salah menyimpulkan sebuah
peristiwa atau fakta. Mereka juga bisa salah menentukan pendapat atau
sikap. Celakanya lagi bila mereka salah mengambil tindakan.
Media cetak konvensional mampu bertahan hidup, bahkan bisa lebih maju, hanya bila ia sanggup mempertahankan ciri khas dan keunggulannya yakni eksklusivisme, investigasi, kedalaman, komprehensif, independensi, keseimbangan, militansi, dan tidak partisan. Para wartawan media cetak konvensional semestinya tidak menerapkan jurnalisme kloning (saling berbagai berita yang telah siap hidang atau saling menjiplak berita).
Media cetak konvensional mampu bertahan hidup, bahkan bisa lebih maju, hanya bila ia sanggup mempertahankan ciri khas dan keunggulannya yakni eksklusivisme, investigasi, kedalaman, komprehensif, independensi, keseimbangan, militansi, dan tidak partisan. Para wartawan media cetak konvensional semestinya tidak menerapkan jurnalisme kloning (saling berbagai berita yang telah siap hidang atau saling menjiplak berita).
Mereka seharusnya menjunjung tinggi eksklusivisme, berusaha keras
menyajikan berita yang hanya ada di medianya. Salah satu modal utama
untuk ini adalah rajin dan berani melakukan liputan penyelisikan
(investigasi), termasuk penyamaran. Mereka harus militan (gigih) dalam
mengungkapkan berbagai fakta yang dibutuhkan khalayak pembaca medianya.
Kita akan tetap mencari, bahkan memburu, media cetak konvensional bila ia konsisten menyajikan beritaberita yang komprehensif (lengkap) dan mendalam. Kita akan tetap memercayai media cetak konvensional bila ia tidak bersikap partisan.
Kita akan tetap mencari, bahkan memburu, media cetak konvensional bila ia konsisten menyajikan beritaberita yang komprehensif (lengkap) dan mendalam. Kita akan tetap memercayai media cetak konvensional bila ia tidak bersikap partisan.
Segenap pengelola dan wartawannya mesti
bersikap independen dan netral, terutama dalam peliputan dan pemberitaan
konflik (dalam arti luas termasuk persaingan bisnis, persaingan dalam
dunia olahraga, dan sebagainya). Media harus bersikap adil terhadap
semua pihak yang berkonflik dengan memberi mereka ruang/waktu yang
seimbang secara kuantitatif dan kualitatif.
Dengan menerapkan jurnalisme yang menerapkan berbagai prinsip pokok ini, kita sangat yakin, media cetak konvensional tidak akan pernah mati. Media yang berbeda-beda jenis bukan saling membunuh. Semua jenis media bersifat komplementer (saling melengkapi). Sejarah media di dunia dari dahulu hingga kini telah membuktikan ini.
Selamat Hari Pers Nasional! Jayalah pers Indonesia! Terhormatlah profesi wartawan! (Penulis Dosen Prodi Jurnalistik Fikom Unpad
Mantan Wartawan (1978–2002).
Dengan menerapkan jurnalisme yang menerapkan berbagai prinsip pokok ini, kita sangat yakin, media cetak konvensional tidak akan pernah mati. Media yang berbeda-beda jenis bukan saling membunuh. Semua jenis media bersifat komplementer (saling melengkapi). Sejarah media di dunia dari dahulu hingga kini telah membuktikan ini.
Selamat Hari Pers Nasional! Jayalah pers Indonesia! Terhormatlah profesi wartawan! (Penulis Dosen Prodi Jurnalistik Fikom Unpad
Mantan Wartawan (1978–2002).
(Sumber: http://nasional.sindonews.com)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE