Ketum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) |
Bogor-Memiliki banyak follower di laman Twitter dan
Facebook-nya, Ketum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggelar
jejak pendapat mengenai perlu atau tidaknya revisi UU 30 Tahun 2002
Tentang KPK. Hasilnya, sebanyak 70 persen netizen menolak revisi UU KPK.
Salah seorang netizen bernama Bayu menilai revisi UU KPK yang diinisiasi DPR banyak yang melemahkan peran KPK.
Salah seorang netizen bernama Bayu menilai revisi UU KPK yang diinisiasi DPR banyak yang melemahkan peran KPK.
"Saya
dengan tegas menolak revisi UU KPK. Sebab menurut saya ada 4 poin yang
melemahkan," ujar salah seorang netizen, Yudhistira, saat memberi
pandangannya dalam diskusi netizen 'Perlukah Revisi UU KPK' yang
diselenggarakan oleh DPP Partai Demokrat di Raffles Hills, Cibubur,
Sabtu (20/2/2016). Acara dibuka pada pukul 10.00 WIB.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh sebagian besar netizen saat memberi masukan. Adapun 4 poin yang ditolak antara lain tidak disetujuinya adalah pembentukan dewan pengawas KPK yang dipilih langsung oleh Presiden Jokowi. Sebab menurutnya peranan dewan pengawas bisa tumpang tindih dengan peran penasehat kode etik dalam lembaga antirasuah tersebut.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh sebagian besar netizen saat memberi masukan. Adapun 4 poin yang ditolak antara lain tidak disetujuinya adalah pembentukan dewan pengawas KPK yang dipilih langsung oleh Presiden Jokowi. Sebab menurutnya peranan dewan pengawas bisa tumpang tindih dengan peran penasehat kode etik dalam lembaga antirasuah tersebut.
Belum
lagi, jika anggotanya dipilih oleh presiden bisa adanya kebocoran
informasi penyelidikan. Menurut netizen, mengapa KPK tidak membentuk SOP
yang terbuka dan akuntabel agar dapat diawasi oleh rakyat.
"Pembentukan dewan pengawas yang dibentuk presiden itu akan mempersempit ruang gerak KPK. Bagaimana kalau yang mau diawasi itu anggota dewan pengawas atau memiliki jabatan lebih tinggi?" kata netizen bernama Ayu yang berprofesi sebagai dokter di Jakarta.
Netizen menilai, pengawasan juga bisa saja dilakukan oleh DPR. "DPR kan memiliki peran pengawasan, di sinilah peran DPR yang bisa mengawasi KPK. Masyarakat juga belum tahu seperti apa komposisi dewan pengawas, ditunjuk oleh presiden bisa jadi intervensi dari penguasa," sambungnya.
Poin kedua adalah penyadapan. Netizen tidak setuju karena penyadapan merupakan hal yang legal bagi KPK untuk mengungkap praktek korupsi. Lagipula, mereka menilai sejauh ini KPK tidak pernah menyalahgunakan wewenang penyadapan tersebut.
"Kalau dewan pengawas ditunjuk presiden, politisnya sangat besar. Sehingga memperlambat proses penyadapan. Menurut saya pekerjaan KPK sudah baik, penyadapan oleh KPK ini sangat legal," ucap Safira, mahasiswi UNPAD.
Poin ketiga adalah kewenangan KPK dalam memilih anggota penyelidik dan penyidik. Bila harus mengambil dari Polri ataupun Kejaksaan, maka dikhawatirkan bisa mengintervensi kinerja mereka. Sehingga netizen meminta agar KPK diberi keleluasaan dalam memilih anggota penyelidik dan penyidik secara independen.
Poin keempat atau terakhir mengenai pemberian Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) yang juga masuk dalam pembahasan di DPR. Netizen menganggap sejauh ini SP3 oleh KPK perlu dipertahankan karena dari sekian banyak koruptor tidak ada yang penyelidikannya berhenti sebelum dibawa ke meja hijau.
Para netizen juga berharap agar pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Jokowi bisa memberikan sikap tegas. Sebab menurut mereka, pembahasan revisi ini tidak relevan mengingat banyaknya kasus korupsi yang menjerat sejumlah anggota partai dari pendulung pemerintahan.
"Revisi UU KPK sarat akan kepentingan dan bermuatan politis. Munculnya rencana revisi UU ini juga muncul dari kelompok partai tertentu dan waktunya bertepatan dengan diadilinya kasus korupsi kelompok terkait," kata Hari.
"Rencana UU ini tidak relevan saat ini melihat kinerja KPK masih diapresiasi publik. UU yang berlaku di KPK juga masih masuk akal. DPR lebih baik fokus membahas RUU lain. Meminta Pak Jokowi untuk segera menyatakan sikap dan tidak memberi pernyataan bersayap," pungkasnya.
Dalam kesempatan ini hadir 26 netizen yang berasal dari Jabodetabek, Purwokerto dan Surabaya yang hadir untuk berkopi darat dengan SBY hari ini.
"Pembentukan dewan pengawas yang dibentuk presiden itu akan mempersempit ruang gerak KPK. Bagaimana kalau yang mau diawasi itu anggota dewan pengawas atau memiliki jabatan lebih tinggi?" kata netizen bernama Ayu yang berprofesi sebagai dokter di Jakarta.
Netizen menilai, pengawasan juga bisa saja dilakukan oleh DPR. "DPR kan memiliki peran pengawasan, di sinilah peran DPR yang bisa mengawasi KPK. Masyarakat juga belum tahu seperti apa komposisi dewan pengawas, ditunjuk oleh presiden bisa jadi intervensi dari penguasa," sambungnya.
Poin kedua adalah penyadapan. Netizen tidak setuju karena penyadapan merupakan hal yang legal bagi KPK untuk mengungkap praktek korupsi. Lagipula, mereka menilai sejauh ini KPK tidak pernah menyalahgunakan wewenang penyadapan tersebut.
"Kalau dewan pengawas ditunjuk presiden, politisnya sangat besar. Sehingga memperlambat proses penyadapan. Menurut saya pekerjaan KPK sudah baik, penyadapan oleh KPK ini sangat legal," ucap Safira, mahasiswi UNPAD.
Poin ketiga adalah kewenangan KPK dalam memilih anggota penyelidik dan penyidik. Bila harus mengambil dari Polri ataupun Kejaksaan, maka dikhawatirkan bisa mengintervensi kinerja mereka. Sehingga netizen meminta agar KPK diberi keleluasaan dalam memilih anggota penyelidik dan penyidik secara independen.
Poin keempat atau terakhir mengenai pemberian Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) yang juga masuk dalam pembahasan di DPR. Netizen menganggap sejauh ini SP3 oleh KPK perlu dipertahankan karena dari sekian banyak koruptor tidak ada yang penyelidikannya berhenti sebelum dibawa ke meja hijau.
Para netizen juga berharap agar pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Jokowi bisa memberikan sikap tegas. Sebab menurut mereka, pembahasan revisi ini tidak relevan mengingat banyaknya kasus korupsi yang menjerat sejumlah anggota partai dari pendulung pemerintahan.
"Revisi UU KPK sarat akan kepentingan dan bermuatan politis. Munculnya rencana revisi UU ini juga muncul dari kelompok partai tertentu dan waktunya bertepatan dengan diadilinya kasus korupsi kelompok terkait," kata Hari.
"Rencana UU ini tidak relevan saat ini melihat kinerja KPK masih diapresiasi publik. UU yang berlaku di KPK juga masih masuk akal. DPR lebih baik fokus membahas RUU lain. Meminta Pak Jokowi untuk segera menyatakan sikap dan tidak memberi pernyataan bersayap," pungkasnya.
Dalam kesempatan ini hadir 26 netizen yang berasal dari Jabodetabek, Purwokerto dan Surabaya yang hadir untuk berkopi darat dengan SBY hari ini.
Sementara itu pangurus harian Partai
Demokrat, seperti Waketum Demokrat Syarief Hasan, Sekjen Demokrat Hinca
Pandjaitan, Ketua Fraksi Demokrat DPR RI Edhie Baskoro Yudhoyono, Ketua
DPD DKI Demokrat Nachrowi Ramli (Nara), Roy Suryo dan lainnya.
Jejak pendapat diadakan pada 13-14 Februari lalu, sebanyak 70 persen menolak revisi UU KPK, 12 persen setuju sepanjang menguatkan dan 18 persen lain-lain. Jejak pendapat diikuti oleh 2.614 orang. (Detik.com)
Jejak pendapat diadakan pada 13-14 Februari lalu, sebanyak 70 persen menolak revisi UU KPK, 12 persen setuju sepanjang menguatkan dan 18 persen lain-lain. Jejak pendapat diikuti oleh 2.614 orang. (Detik.com)
0 Komentar
Komentar Dilarang Melanggar UU ITE